Ikatan Motor Indonesia Sulawesi Selatan
Latest Games :
Home » » LAP PKL

LAP PKL

Minggu, 30 Oktober 2011 | 0 komentar


AKUTANSI PEMERINTAH DAERAH
DI BAGIAN KEUANGAN SEKRETARIAT KOTA DENPASARLAPORAN AKHIR




















Diajukan Oleh    :

1.     ABDUL WAHID LATIF                 Pemkab SINJAI
2.     DJUHAENI DJUNUR                    Pemkab LUWU TIMUR
3.     MAGFIRANI NASSA                     Pemkab BANTAENG
4.     HERLA S. PALA’LANGAN                    Pemkab TANA TORAJA
5.     ABRAHAM S. KAUMFU               Pemprov PAPUA BARAT
6.     KAMARIA KARIM                        Pemprov SULTRA

Kepada

PUSAT PENGEMBANGAN KEUANGAN DAN EKONOMI DAERAH
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
NOVEMBER 2011
AKUTANSI PEMERINTAH DAERAH
DI BAGIAN KEUANGAN SEKRETARIAT KOTA DENPASAR









Diajukan Oleh    :

1.     ABDUL WAHID LATIF                Pemkab SINJAI
2.     DJUHAENI DJUNUR                    Pemkab LUWU TIMUR
3.     MAGFIRANI NASSA                     Pemkab BANTAENG
4.     HERLA S. PALA’LANGAN                    Pemkab TANA TORAJA
5.     ABRAHAM S. KAUMFU               Pemprov PAPUA BARAT
6.     KAMARIA KARIM                        Pemprov SULTRA


Telah Di Setujui Oleh :
Dosen Pembimbing




Dra. Hj. NURLENI, M.Si.,Ak
Tanggal Persetujuan ( 2 November 2011)


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga laporan hasil ini dapat diselesaikan. Laporan ini merupakan tugas akhir dalam pelaksanaan Kursus Keuangan Daerah Reguler Tahun 2011 Pusat Pengembangan Keuangan dan Ekonomi Daerah (PPKED) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar.
Terima kasih kepada Ibu Dra. Hj. Nurleni, M.Si.,Ak Selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktu membimbing dan memberi motivasi demi kesempurnaan laporan akhir ini.
Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada Walikota Denpasar Bapak Rai Dharmawijaya Mantra, SE, M.Si atas pemberian izin melakukan Field Triep di Kota Denpasar. Dan juga penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Dr. Sanusi Fattah, M.Si selaku Ketua Panitia KKDR 2011 beserta jajaran panitia lainnya atas bantuan yang telah diberikan kepada kami selama mengikuti KKDR 2011.
Semoga laporan akhir ini dapat menjadi salah satu referensi bagi perkembangan pengelolaan Akutansi Pemerintah Daerah walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang membangun akan lebih menyempurnakan laporan akhir ini.

Makassar, November 2011


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi pelimpahan wewenang penyelenggaraan urusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang penyelenggaraan urusan pemerintahan ini, diikuti dengan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan penyerahan pembiayaan tersebut, maka Pemerintah Pusat menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawaban pengelola keuangan daerah.
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Daerah setiap awal tahun anggaran menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan gambaran tentang rencana penerimaan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran. Selanjutnya pada setiap akhir tahun anggaran, pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelola keuangan daerah selama satu periode.
Ditingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ), Kepala SKPD menyusun laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada SKPD yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang selanjutnya menjadi bahan dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah secara keseluruhan. Dalam rangka penyusunan laporan keuangan SKPD, tentunya tidak terlepas dari system dan prosedur akuntansi yang menjadi pedoman pencatatan seluruh kegiatan pengelolaan keuangan dimasing-masing SKPD.
Untuk membantu Pemerintah Daerah dalam rangka pencatatan kegiatan pengelolaan keuangan, maka Pemerintah Pusat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan system dan prosedur akuntansi keuangan daerah yaitu berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tenteng Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya dijabarkan dengan Surat Edaran Nomor SE.900/316/BAKD tentang Pedoman Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Adapun kebijakan dibidang akuntansi yang diatur dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah, untuk masing-masing daerah berbeda disesuaikan dengan karakteristik dan spesifikasi yang dimiliki oleh daerah tersebut, namun dalam penyusunannya tetap mengacu pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pada penerapannya belum semua Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pencatatan pengelolaan keuangan daerah telah mengacu pada system dan prosedur akuntansi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Khususnya berkaitan dengan prosedur pengeluaran kas, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum menerapkan prosedur akuntansi sebagimana dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor.13 Tahun 2006 yang penjabarannya pada Surat Edaran Nomor SE.900/316/BAKD.
Dalam penyusunan laporan hasil study banding ini penyusun (Peserta KKD-Reguler Penatausahaan / Akuntansi Keuangan Daerah Angkatan XXV) tertarik untuk mengetahui apakah dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan, Pemerintah Daerah Kota Denpasar sebagai responden penelitian, telah memiliki kebijakan akuntansi yang mempunyai kekuatan hukum (dituangkan dalam Peraturan Walikota Denpasar).
Adapun judul yang diambil berdasarkan uraian diatas serta topik bahasan yang telah ditetapkan oleh pihak penyelenggara yaitu Pusat Pengembangan Keuangan dan Ekonomi Daerah (PPKED) Fakultas Ekonomi Unhas, untuk laporan hasil study banding ini adalah :
“ AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH DI BAGIAN KEUANGAN SEKRETARIAT KOTA DENPASAR “.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ruang lingkup penulisan laporan hasil study banding ini dibatasi pada permasalahan apakah di Bagian Keuangan Sekretariat Kota Denpasar dalam pelaksanaan prosedur akuntansi Pemerintah Daerah telah mengacu pada SE.900/316/BAKD tentang Pedoman Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
1.3. Tujuan Penulisan Dan Kegunaan Penulisan
1.3.1. Tujuan Penulisan
Sehubungan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, penulisan makalah ini dimaksudkan bertujuan untuk :
a.     Mengetahui dan mempelajari bagaimana proses pelaksanaan sistem dan prosedur akuntansi Pemerintah Daerah di Bagian Keuangan Sekretariat Kota Denpasar serta kebijakan akuntansi yang akan digunakan oleh Pemerintah Daerah Kota Denpasar sebagai acuan / pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangannya telah sesuai dengan SE.900/316/BAKD.
b.    Mengetahui dan memahami pelaksanaan atas penerapan kebijakan akuntansi sebagai alat bantu penyusunan laporan keuangan, sehingga diperoleh suatu Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) yang dapat diandalkan.
1.3.2. Kegunaan Penulisan
Kegunaan dari penulisan laporan akhir ini adalah :
a.       Sebagai salah satu bahan untuk mendapatkan data-data dan informasi yang akurat dan relevan mengenai kebijakan akuntansi yang diterapkan di suatu daerah, yang dapat dimanfaatkan
b.      Sebagai sumber masukan yang dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai konsep-konsep dan praktek nyata dari penerapan kebijakan akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan pada suatu Pemerintah Daerah.
c.       sekaligus sebagai salah satu syarat telah mengikuti diklat tersebut yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Keuangan dan Ekonomi Daerah (PPKED) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
d.      Pemerintah Daerah Kota Denpasar sebagai responden penelitian lapangan, dapat menggunakannya sebagai arsip ataupun bahan masukan dalam bentuk saran dan analisis sederhana dalam upaya peningkatan kualitas pengembangan kebijakan selanjutnya.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan suatu tuntutan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kepemerintahan yang baik antara lain ditandai dengan adanya pemerintah yang akuntabel dan transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia terus-menerus melakukan berbagai upaya pembaharuan dalam pengelolaan keuangan, antara lain penyusunan peraturan perundang-undangan, penataan kelemba-gaan, pembenahan sistem dan prosedur, dan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia di bidang keuangan.
            Pembaharuan di bidang keuangan mencakup berbagai aspek, yaitu perencanaan dan penganggaran, perbendaharaan, akuntansi dan pertanggungjawaban, dan auditing. Semua aspek tersebut diperbarui secara bertahap dan berkelanjutan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi Pemerintah Indonesia.
            Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, kewenangan pengelolaan keuangan daerah diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota. Sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri. Dengan demikian pemerintah daerah berhak untuk merencanakan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD ke DPRD masing-masing.
            Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Laporan keuangan dimaksud mencakup:
1. Neraca;
2. Laporan Realisasi Anggaran;
3. Laporan Arus Kas; dan
4. Catatan atas Laporan Keuangan.
            Laporan Realisasi Anggaran tidak hanya menyajikan perbandingan antara realisasi terhadap anggarannya tetapi juga menyajikan prestasi kerja (kinerja) yang dicapai. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyusunan dan penyajian laporan keuangan dilaksanakan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar Akuntansi Pemerintahan telah diatur dengan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pelaporan keuangan dan kinerja ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
            Implementasi SAP di lingkungan pemerintah tidaklah mudah, demikian pula yang terjadi di pemerintah daerah. Selain kesiapan pemerintah daerah yang masih kurang juga disebabkan adanya peraturan di tingkat operasional.yang mengatur pelaporan keuangan yang belum sepenuhnya sesuai SAP. Di lingkungan Pemerintah Pusat, penyusunan dan penyajian laporan keuangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan untuk pemerintah daerah diatur dengan peraturan daerah. Selama ini pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada PP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Dewasa ini pada umumnya pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Penyusunan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tata cara penyusunan dan pertanggungjawaban APBD dalam ketentuan tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan SAP.
            Dalam tataran operasional ternyata sampai dengan tahun anggaran 2005 masih ada pemerintah daerah yang belum menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Kepmendagri tersebut tetapi masih menerapkan ketentuan yang sebelumnya, yaitu SK Mendagri No. 900/099 tanggal 2 April 1980 tentang Manual Keuangan Daerah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dewasa ini pemerintah daerah berada dalam masa transisi. Berhubung penyajian laporan keuangan mulai tahun 2005 sudah wajib menerapkan SAP sementara APBD masih diusun dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang lain maka perlu adanya proses konversi selama masa transisi.
            Proses konversi hendaknya dilaksanakan secara hati-hati. Dalam hal ini perbedaan antara APBD dan SAP dapat saja terjadi tidak hanya dalam struktur anggaran ataupun klasifikasi pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu kebijakan yang terkait dengan pengertian, ruang lingkup, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan setiap pos laporan keuangan. Dalam rangka memfasilitasi pemerintah daerah yang telah menyusun laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002 untuk dapat menyajikan laporan keuangan sesuai SAP, maka Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) telah menyusun Buletin Teknis Konversi Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sesuai SAP.
Bagi pemerintah daerah yang belum nenyusun laporan keuangan sesuai dengan Kepmendagri No. 29/2002 dapat langsung menyesuaikan ke SAP tanpa melalui konversi ke Kepmendagri 29/2002.
2.2. PELAKSANAAN KONVERSI DALAM MASA TRANSISI
      PP No. 24/2005 mengamanatkan penyusunan dan penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), sedangkan APBD masih disusun dan dilaksanakan berdasarkan Kepmendagri 29/2002, maka pemerintah daerah perlu menyusun strategi implementasi untuk penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005. Masa transisi ini akan berlangsung sejak diberlakukannya PP 24/2005 sampai dengan pemerintah telah mengembangkan sistem akuntansi dan mengimplementasikannya secara penuh sesuai dengan SAP. Pelaksanaan konversi ini telah diatur dalam Buletin Teknis No. 3 tahun 2006 tentang Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sesuai SAP. Untuk mengoperasionalkan buletin teknis tersebut perlu dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
Seringkali para pelaku pengelolaan keuangan di lingkungan pemerintahan mempunyai persepsi yang kurang tepat tentang akuntansi dan pelaporan keuangan. Ketentuan-ketentuan yang digunakan pada saat menyusun APBD tidak sama dengan kebijakan akuntansi dan pelaporan keuangan. Apabila struktur APBD dan ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk penyusunan APBD berbeda dengan SAP maka akan menimbulkan permasalahan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan karena yang dipertanggung-jawabkan pemerintah daerah adalah pelaksanaan APBD, sehingga seharusnya berlaku budgetary accounting. Dengan demikian dituntut adanya struktur anggaran dan ketentuan yang sama mulai dari penganggaran, pelaksanaan, sampai dengan pertanggungjawabannya. Selama hal ini belum dipenuhi, proses konversi penyajian laporan keuangan akan terus berlangsung.
Pelaksanaan konversi dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun lembar muka (face) laporan keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Konversi dilakukan dengan menggunakan kertas kerja yang menggambarkan proses konversi dari laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri 29/2002 ke laporan keuangan berdasarkan SAP.
Konversi untuk Laporan Realisasi Anggaran dilaksanakan baik untuk anggaran maupun realisasinya. Proses konversi ini disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Kertas kerja konversi disajikan sebagai lampiran laporan keuangan sesuai dengan SAP.
            Secara garis besar langkah-langkah konversi yang diatur dalam Bultek tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Penyajian laporan keuangan dalam masa transisi dapat dilakukan dengan teknik memetakan atau konversi ketentuan-ketentuan di Kepmendagri No. 29/2002 ke dalam ketentuan-ketentuan SAP. Konversi mencakup jenis laporan, basis akuntansi, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan, struktur APBD, klasifikasi anggaran, aset, kewajiban, ekuitas, arus kas, serta catatan atas laporan keuangan.
2.      Penelusuran pos-pos laporan keuangan. Penelusuran pos-pos ini dapat dilakukan secara berjenjang, dari membandingkan pos-pos yang disajikan dalam laporan keuangan/buku besar/buku pembantu. Apabila sampai dengan buku pembantu belum dapat ditelusuri maka diteruskan ke dokumen sumber.
3.      Penelusuran setiap pos/buku besar/buku pembantu tersebut dituangkan dalam suatu kertas kerja yang memungkinkan untuk dilaksanakan pelacakan asal-muasal suatu jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan sesuai SAP.
Konversi dilakukan dengan cara menelusuri atau mentrasir kembali (trace back) sebagai berikut:
1.      Pos-pos laporan keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 dengan pos-pos laporan keuangan menurut SAP;
2.      Apabila angka 1 belum menyelesaikan konversi, maka konversi buku besar/pos/rekening menurut Kepmendagri No. 29/2002 ke buku besar menurut SAP, dengan memperhatikan cakupan masing-masing buku besar;
3.      Apabila angka 2 belum menyelesaikan konversi, maka lakukan konversi dari buku pembantu/rekening menurut Kepmendagri No. 29/2002 ke buku besar menurut SAP;
4.      Apabila angka 3 belum menyelesaikan konversi, maka lakukan konversi buku jurnal atau dokumen sumber ke buku besar menurut SAP.

2.3.  KEBIJAKAN AKUNTANSI YANG PENTING

Kebijakan akuntansi yang digunakan oleh suatu pemerintah daerah perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan SAP. Identifikasi ini sangat menentukan penyesuaian yang harus dilaksanakan. Berikut ini beberapa kebijakan akuntansi penting yang seringkali belum sepenuhnya sesuai dengan SAP.

1. Pengakuan Pendapatan dan Belanja

 SAP menggunakan basis kas untuk pengakuan pendapatan dan belanja. Pendapatan diakui setelah penerimaan uang disetor ke Rekening Kas Umum Daerah. Belanja diakui setelah uang dikeluarkan secara definitif dari Rekening Kas Umum Daerah dan/atau telah dipertanggung-jawabkan. Kepmendagri No, 29/2002 menyatakan bahwa basis akuntansi yang digunakan untuk mengakui pendapatan dan belanja adalah basis kas modifikasian.
Menurut Granof, dalam basis kas modifikasian, akun pendapatan dan belanja dibuka dalam beberapa waktu setelah tutup tahun anggaran. Pendapatan yang diterima dalam kurun waktu yang ditetapkan diakui sebagai pendapatan dan belanja yang dibayar selama jangka waktu yang ditetapkan masih diakui sebagai belanja pada tahun anggaran tersebut. Dengan demikian maka sistem akuntansi akan menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Neraca yang hanya memuat pos kas serta piutang dan utang yang berasal dari kegiatan operasi pemerintahan.
Pemerintah daerah perlu memperhati-kan basis pengakuan pendapatan dan belanja yang digunakan dalam APBD masing-masing. Apabila Pemda telah menggunakan basis kas modifikasian, maka besarnya pendapatan dan belanja yang berasal dari selisih yang terjadi karena penggunaan basis yang berbeda tersebut dieliminasi.
SAP belum mengakui kas yang berada di tangan Bendahara Penerimaan per 31 Desember sebagai pendapatan karena belum belum disetor ke Rekening Kas Umum Daerah. Demikian pula halnya dengan pengakuan belanja, belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran definitif dari Rekening Kas Umum Daerah. Pembayaran yang dilakukan secara langsung kepada pihak ketiga (SPMU LS atau BT) diakui sebagai belanja pada saat dikeluarkan uang dari rekening Kas Umum Daerah. Pembayaran melalui uang muka kerja atau dana kas kecil (SPMU BS, SPM PK atau SPM UP) yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas merupakan uang muka kerja atau dana kas kecil di satuan kerja perangkat daerah. Jumlah tersebut baru diakui sebagai belanja setelah dipertanggungjawabkan ke satuan kerja pengelola keuangan daerah. Saldo kas yang berasal dari sisa uang muka kerja, yang berada di Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas merupakan aset pemerintah daerah dan disajikan pada akun Kas di Bendahara Pembayar di neraca pemerintah daerah.

2. Pengakuan Aset

      Kepmendagri No. 29/2002 mengatur bahwa pengakuan aset dilakukan pada akhir periode. Sementara SAP menyatakan bahwa aset diakui pada saat diterima dan/atau hak kepemilikan berpindah. Dengan demikian selama tahun berjalan terdapat perbedaan waktu pengakuan aset namun pada akhir periode akuntansi akan diperoleh saldo aset yang sama.

3. Pengakuan Kewajiban

      Kepmendagri 29/2002 menyatakan bahwa utang diakui pada akhir periode. SAP menyatakan bahwa kewajiban diakui pada saat pinjaman diterima atau kewajiban timbul. Untuk meyakini bahwa seluruh utang sudah disajikan di neraca, pemerintah daerah dan setiap satuan kerja perangkat daerah perlu menginventarisasi utang-utang di unitnya masing-masing dan menyajikannya di neraca per 31 Desember .
4. Penilaian Aset
Dalam rangka penyusunan neraca awal, Kepmendagri 29/2002 mengatur bahwa Kepala Daerah dapat secara bertahap melakukan penilaian seluruh aset Daerah yang dilakukan oleh Lembaga Independen bersertifikat bidang pekerjaan penilaian aset dengan mengacu pada Pedoman penilaian Aset Daerah yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri. SAP mengatur bahwa aset dinilai berdasarkan harga perolehan. Ketentuan ini berlaku untuk transaksi yang terjadi setelah penyusunan neraca awal (neraca yang pertama kali disusun). Sedangkan untuk aset yang sudah dimiliki pada saat penyusunan neraca pertama kali (neraca awal) dinilai berdasarkan nilai wajar pada tanggal penyusunan neraca tersebut.
Untuk penyusunan neraca awal, KSAP telah menerbitkan Buletin Teknis No.2 tentang Penyusunan Neraca Awal Pemda. Dalam Buletin Teknis tersebut tersedia berbagai alternatif penilaian aset yang dapat dipilih oleh Pemda dalam penyusunan neraca awal. Oleh karena itu bagi Pemda yang belum menyajikan pos-pos neraca sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam SAP, yang selanjutnya diilustrasikan melalui Buletin Teknis tersebut dapat melakukan penyesuaian. Sebagai contoh: tanah dapat dinilai berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak, Bangunan dapat dinilai berdasarkan standar biaya yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Istilah akuntansi sebenarnya sudah sejak lama kita ketahui, dan tanpa disadari sering terjadi / timbul dalam kehidupan kita sehari-hari, karena istilah akuntansi berkaitan erat dengan masalah yang umumnya berhubungan dengan transaksi keuangan. Namun istilah akuntansi sebagai ilmu baru dikenal di Negara kita pada tahun 1980-an, dengan adanya bantuan hibah dari bank dunia yang melihat bahwa perkembangan system pembukuan di Indonesia berjalan sangat lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi dan bisnis, untuk itu harus dilakukan perubahan-perubahan.
Sedangkan penerapan sistem akuntansi disektor publik atau Pemerintah baru digunakan pada tahun 2001, seiring dengan terbentuknya kompertemen akuntan sektor publik dan makin tingginya tuntutan masyarakat terhadap transparansi laporan keuangan Pemerintah.

2.4. Pengertian Akuntansi Pemerintahan Daerah
Secara umum pengertian akuntansi dapat didefinisikan sebagai berikut :
Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi dan kejadian-kejadian yang umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasil-hasilnya (American Institute of Certified Public Accounting, Sofyan Syafri Harahap : 2003)
Atau: Akuntansi adalah Suatu kegiatan jasa, fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksud untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi sebagai dasar memilih diantara beberapa alternative (Accounting Principle Board Statement, Sofyan Syafr Harahap : 2003).
Sedangkan pengertian Pemerintah Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga pengertian Akuntansi Pemerintah Daerah dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi dan kebijakan-kebijakan yang umumnya bersifat keuangan dan termasuk pelaporan hasil-hasilnya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi lainnya dari Akuntansi Pemerintahan Daerah atau yang disebut sebagai Akuntansi Keuangan Daerah adalah proses pengidentfikasian, pengukuran, pencatatan dan pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas Pemerintah Daerah yang dijadikan informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak eksternal pemerintah daerah yang memerlukannya (Abdul Halim : 2004).
Sedangkan pengertian Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah.

2.5. Pengertian Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial
Belanja dilingkungan akuntansi komersial dapat didefinisikan sebagai arus keluar dari aset atau segala bentuk penggunaan aset yang terjadi selama periode tertentu yang berasal dari produksi barang, penyerahan jasa, atau aktivitas lain yang terjadi dalam kegiatan operasional entitas.
Belanja dilingkungan akuntansi pemerintahan di Indonesia diartikan sebagai semua pengeluaran bendahara umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh Pemerintah (Deddi Nordiawan, dkk : 2007).
Berdasarkan PP 24 Tahun 2005, Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Pemerintah.
Belanja dapat diklasifikasikan menurut Klasifikasi Ekonomi, Klasifikasi Organisasi, Klasifikasi Fungsi. Untuk Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial di kategorikan ke dalam Klasifikasi Ekonomi dimana pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 belanja adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dari pengertian belanja diatas dapat disimpulkan bahwa :
Belanja Hibah adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih digunakan untuk menganggarkan pemberian uang, barang dan/atau jasa kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya, Perusahaan Daerah, Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus.
Belanja Bantuan Sosial adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih digunakan untuk pemberian bantuan sosial kepada organisasi kemasyarakatan dilakukan secara selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya, dilakukan secara tidak terus menerus / tidak berulang setiap tahun anggaran pada organisasi kemasyarakatan yang sama.















BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Keuangan Sekretariat Kota Denpasar Propinsi Bali.

3.2 Metode Pengumpulan Data
Ada 2 (dua) metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu :
a.     Penelitian Lapangan ( FieldResearch )
Yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh data-data primer mengenai topik pembahasan dengan cara melakukan peninjauan secara langsung kepada obyek penelitian (dalam hal ini respondennya adalah Bagian Keuangan Sekretariat Kota Denpasar).
Adapun pengumpulan data-data primer ini dapat dilakukan melalui cara observasi, wawancara dan teknik pengumpulan data yang bersumber dari dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kota Denpasar.
b.    Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data-data sekunder atau data-data pendukung lainnya yang dapat berfungsi sebagai bahan referensi ataupun landasan teoritis guna mendukung analisis terhadap data-data primer yang diperoleh di lapangan.
Data-data sekunder ini dapat diperoleh dari buku-buku dan referensi-referensi yang ada di UNHAS maupun bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan topik permasalahan yang diteliti.

3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1. Jenis Data
3.3.1.1  Data Kualitatif
Data yang digunakan dalam penulisan laporan akhir ini adalah data yang tidak dinyatakan dalam suatu angka, seperti visi misi Kota Denpasar
3.3.1.2  Data Kuantitatif
Yaitu data yang dinyatakan dalam angka, seperti neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas Pemerintah Kota Denpasar.
3.3.2. Sumber Data
            Sumber data dalam penulisan ini hamper seluruhnya diperoleh pada saat kunjungan lapangan yang diterima dari Bagian Keuangan Sekretriat Kota Denpasar
3.4   Metode Analisis Data
Untuk menganalisis rumusan permasalahan diatas, kami menggunakan metode analisis data kualitatif yaitu menilai sejauh mana peran dan pengaruh dari Laporan Akuntansi Pemerintah Daerah yang dilaksanakan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Kota Denpasar



BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah
Kondisi fisik dasar suatu wilayah mempunyai peran yang penting karena berhubungan dengan factor-faktor alami untuk mengetahui keadaan dan potensi yang terdapat di suatu kawasan sehingga dapat diketahui aktifitas yang sesuai untuk kawasan tersebut.; fisik alami yang terdapat disuatu kawasan berfungsi sebagai wadah untuk menampung semua aktifitas penduduk/masyarakat sebagai suatu sumber daya alam yang dapat mempengaruhi perkembangan kawasan sekaligus sebagai pembentuk pola aktifitas penduduk
4.2.Visi dan Misi Kota Denpasar
4.2.1 Visi
Denpasar kreatif berwawasan budaya dalam keseimbangan menuju keharmonisan.
4.2.2 Misi
1.      Menumbuh kembangkan jati diri masyarakat Kota Denpasar berdasarkan budaya Bali.
2.      Memberdayakan masyarakat Kota Denpasar berlandaskan kearifan lokal melalui budaya kreatif.
3.      Mewujudkan Pemerintahan yang baik (good governance) melalui penegakan supremasi hukum (law enforcement)
4.      MeningkatkanpPelayanan publik menuju kesejahteraan masyarakat (welfare society)
5.      Mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat melalui sistem ekonomi kerakyatan
4.3. Kondisi Geografis
4.3.1 Letak Astronomi
Kota Denpasar terletak di tengah-tengah dari Pulau Bali, selain merupakan Ibukota Daerah Tingkat II, juga merupakan Ibukota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian.
Letak yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi ekonomis maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya.
Kota Denpasar terletak diantara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di sebelah Utara Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di sebelah Selatan Selat Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung.
Ditinjau dari Topografi keadaan medan Kota Denpasar secara umum miring kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75m diatas permukaan laut. Morfologi landai dengan kemiringan lahan sebagian besar berkisar antara 0-5% namun dibagian tepi kemiringannya bisa mencapai 15%.
4.3.2 Luas Wilayah
Luas wilayah Kota Denpasar 127,98 km2 atau 127,98 Ha, yang merupakan tambahan dari reklamasi pantai serangan seluas 380 Ha, atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan Propinsi Bali. Sedangkan luas daratan Propinsi Bali seluruhnya 5.632,86 Km2.
Batas Wilayah Kota Denpasar di sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Badung (Kecamatan Mengwi, Abiansemal dan Kuta Utara), sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar (Kecamatan Sukawati dan Selat Badung dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Badung (Kecamatan Kuta) dan Selat Badung. Sebagian besar (59,1%) berada pada ketinggian antara 0 - 75 M dari permukaan laut.
Dari luas tersebut diatas tata guna tanahnya meliputi Tanah sawah 5.547 Ha dan Lahan Kering 10.001 Ha. Lahan Kering terdiri dari Tanah Pekarangan 7.714 Ha, Tanah Tegalan 396 Ha, Tanah Tambak/Kolam 9Ha, Tanah sementara tidak diusahakan 81 Ha, Tanah Hutan 538 Ha, Tanah Perkebunan 35 Ha dan Tanah lainnya: 1.162 Ha.
4.3.3. Iklim
Kota Denpasar termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi angin musim sehingga memiliki musim kemarau dengan angin timur (Juni-Desember) dan musim Hujan dengan angin barat (September-Maret) dan diselingi oleh musim Pancaroba. Suhu rata-rata berkisar antara 25,4°C - 28,5°C dengan suhu maksimum jatuh pada bulan Januari, sedangkan suhu minimum pada bulan agustus.
Jumlah Curah Hujan tahun 2008 di Kota Denpasar berkisar 0-406 mm dan rata-rata 97,1 mm. Bulan basah (Curah Hujan >100 mm/bl) selama 4 bulan dari bulan Nopember s/d Pebruari Sedangkan bulan kering (Curah Hujan <100 mm/bl selama 8 bulan jatuh pada bulan Maret sampai Oktober. Curah Hujan tertinggi terjadi pada pada bulan Pebruari (406 mm) dan terendah terjadi pada bulan Oktober (0 mm).
4.3.4 Penduduk
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, Jumlah penduduk Kota Denpasar sementara adalah sebanyak 788.445 orang, yang terdiri atas 403.026 laki-laki dan 385.419 perempuan. Dari hasil SP 2010 tersebut jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan sebesar 31,1 persen diikuti Kecamatan Denpasar Barat sebesar 29,1 persen, Kecamatan Denpasar Utara sebesar 22,3 persen dan Kecamatan Denpasar Timur sebesar 17,5 persen.
            Dengan luas wilayah Kota Denpasar sebesar 127, 78 kilo meter persegi yang didiami oleh 788.445 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Denpasar adalah sebanyak 6.170 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Denpasar Barat yakni 9.510 orang per kilo meter persegi, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Denpasar Selatan yakni sebanyak 4.900 orang per kilo meter persegi.
Kecamtan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Utara mempunyai
tingkat kepadatan penduduk berturut-turut sebanyak 6.119 orang per kilo meter persegi dan 5.658 orang per kilo meter persegi.

 

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Berita : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatanku - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website | More Trick | IVY Themes
Proudly powered by Blogger