Ikatan Motor Indonesia Sulawesi Selatan
Latest Games :
Home » » kontribusi PAD terhadap APBD (study kasus kota bogor)

kontribusi PAD terhadap APBD (study kasus kota bogor)

Jumat, 14 Oktober 2011 | 0 komentar

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003
49
KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) GUNA MENDUKUNG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS PEMERINTAH DAERAH KOTA BOGOR)
Mohammad Riduansyah
Pusat Pengembangan dan Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Depok 16425, Indonesia
Abstrak
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan yang signifikan bagi pembiayaan rutin dan
pembangunan di suatu daerah otonom. Jumlah penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi
oleh banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan serta disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yang
terkait dengan penerimaan kedua komponen tersebut. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap
perolehan PAD Pemerintah Kota Bogor dalam kurun waktu Tahun Anggaran (TA) 1993/1994 – 2000 cukup signifikan
dengan rata-rata kontribusi sebesar 27,78% per tahun. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total
perolehan penerimaan Pemda Bogor tercermin dalam APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan
otonomi daerah terlihat cukup baik. Komponen pajak daerah dalam kurun waktu TA 1993/1994 – 2000 rata-rata pertahunnya
memberikan kontribusi sebesar 7,81% per tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89% pertahunnya. Sedangkan
pendapatan yang berasal dari komponen retribusi daerah, pada kurun waktu yang sama, memberikan kontribusi rata-rata per
tahunnya sebesar 15,61% dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 5,08% per tahun. Untuk meningkatkan
kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total penerimaan PAD dan sekaligus memperbesar
kontribusinya terhadap APBD Pemda Kota Bogor perlu dilakukan beberapa langkah di antaranya perlu dilakukan
peningkatan intensifikasi pemungutan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan
jalan memberlakukan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada.
Abstract
The income of local own revenues is a significant sources for routine and developmen expenditure in local government. The
amount of local taxation and user charges income are influenced by the kind of local taxation and user charges which is being
implemented and adjusted by the rule that is implemented, related with income of local taxation and user charges. The
contribution of local taxation and user charges income to acceptance of local own resources in Bogor Municipal in the periode
of budget years 1993/1994-2000 has significant meaning with the average income 27,78 per years. The contributin of local
taxation and user charges income to the total income of Bogor Municipal can be see in their local government budget, related
to the ability in doing local authonomy is good enough. The component of local taxation in the period 1993/1994-2000 has
contribute 7,81 % per years with the growth average about 22.89 % per years. Mean while, the acceptance that come form the
user charge component, in the same periode has contributed 15,61 % per years with the growth average 5.08 % per years. In
increasing the contribution of local taxation and user charge income to the total of local own resources income and their
contribution to the local government budget of Bogor Municipal, several things need to be done, such as intensification of
collecting local taxation and user charges and also extensification by implementation of new local taxation and user charge,
adjusted with the condition and potention that available.
Keywords: local own revenues, local authonomy, local taxation, user charges, and local government budget
1. Pendahuluan
Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan
adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan)
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam
rangka desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan
penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sumber
pembiayaan yang paling penting adalah sumber
50 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003
pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD
(Pendapatan Asli Daerah) di mana komponen utamanya
adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak
daerah dan retribusi daerah.
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi
melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan/
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi
memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu
faktor pendukung yang secara signifikan menentukan
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah
kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan
kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, di samping
faktor-faktor lain seperti kemampuan personalia di
daerah dan kelembagaan pemerintah daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan kontribusi penerimaan pajak daerah
dan retribusi daerah terhadap perolehan pendapatan
asli daerah, khususnya pada Pemerintah Daerah
Kota Bogor sebagai studi kasus.
2. Menggambarkan kontribusi penerimaan pajak
daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan
penerimaan Pemerintah Daerah Kota Bogor yang
tercermin dalam APBD-nya, dikaitkan dengan
kemampuannya untuk melaksanakan otonomi
daerah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat tidak saja bagi subjek permasalahan yang
relevan dengan administrasi publik, khususnya
administrasi keuangan daerah yang menjadi tema dan
ruang lingkup penelitian ini, tetapi juga mencakup
disiplin ilmu lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan masukan bagi aparatur pemerintah
(khususnya aparatur Pemerintah Daerah Kota Bogor)
yang dapat menjadi bahan masukan dalam pengembilan
kebijakan dimasa datang. Di samping itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi pemicu penelitian yang lebih
lanjut dalam bidang kajian ini.
2. Metode Penelitian
Terdapat banyak instrumen yang dapat dipergunakan
oleh pemerintah daerah untuk membiayai seluruh
pengeluaran yang dibebankan kepada pemda akibat
didesentralisasikannya proses pemerintahan. Seluruh
jenis pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah
serta seluruh jenis pembiayaan (pengeluaran) daerah
yang dilakukannya dalam menjalankan tugas
pemerintahan dan program pembangunan secara jelas
tercantum dalam suatu anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Secara garis besar, sumber pembiayaan (pendapatan)
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori sumber
pembiayaan. Kategori pertama adalah pendapatan yang
diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber di
luar pemerintah daerah (external source). Pendapatan
ini merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumbersumber
yang berasal dari pihak luar dan tidak secara
langsung ditangani sendiri oleh pemerintah daerah.
Yang dimaksud dengan pihak luar di sini adalah pihakpihak
yang berada di luar pemerintah daerah yang
bersangkutan (selain pemerintah daerah beserta
perangkatnya) dan bukan merupakan penduduk daerah
yang bersangkutan, seperti pemerintah pusat, tingkatan
pemerintahan yang ada di atas pemerintahan daerah
yang bersangkutan, negara asing, pihak swasta, dan
pihak ketiga. Kategori kedua adalah pendapatan yang
diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber yang
dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local
source). Kategori pendapatan yang kedua ini
merupakan pendapatan yang digali dan ditangani
sendiri oleh pemerintah daerah dari sumber-sumber
pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya.
Pendapatan yang termasuk ke dalam kategori
pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub
national tax), retribusi daerah (local retribution, fees,
local licence) dan hasil-hasil badan usaha (local owned
enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis
pendapatan ini merupakan pendapatan yang digali dan
ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari sumbersumber
pendapatan yang terdapat dalam wilayah
yurisdiksinya.
Terkait dengan pendapatan asli daerah, seorang pakar
dari World Bank berpendapat bahwa batas 20%
perolehan PAD merupakan batas minimum untuk
menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang
dari angka 20%, maka daerah tersebut akan kehilangan
kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri.
Pajak daerah, sebagai salah satu komponen PAD,
merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah
daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah
yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh
kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah
yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya.
Retribusi daerah, komponen lain yang juga termasuk
komponen PAD, merupakan penerimaan yang diterima
oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan
tertentu kepada penduduk mendiami wilayah
yurisdiksinya. Perbedaan yang tegas antara pajak
daerah dan retribusi daerah terletak pada kontraprestasi
yang diberikan oleh pemerintah daerah. Jika pada pajak
daerah kontraprestasi tidak diberikan secara langsung,
maka pada retribusi daerah kontribusi diberikan secara
langsung oleh pemerintah daerah kepada penduduk
yang membayar retribusi tersebut.
Baik pajak daerah maupun retribusi daerah, keduanya
diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003 51
pemerintah daerah dan disetujui oleh lembaga
perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang
berada di dalam struktur pemerintah daerah yang
bersangkutan.
Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan
memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan
jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk
menetapkan sendiri jenis-jenis pajak daerah dan
retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada
intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih
tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang perlu diciptakan
dan menjadi suatu pandangan umum yang
dikemukakan serta diterima oleh para ahli yang
menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya
keuangan daerah, seperti Nick Devas, Richard M. Bird,
dan B. C. Smith. Agar pemerintah daerah memiliki
kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah
yang ada di daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan
pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk
dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan
efektivitas dalam pemungutan pajak daerah
Mungkin hal yang paling menjanjikan, dan merupakan
jalur yang banyak ditempuh oleh para pemerintah
daerah, untuk mendapatkan struktur pendapatan daerah
adalah memberlakukan retribusi pada setiap
kesempatan yang memungkinkan. Hal ini sangat
dimungkinkan, sebab jika pemerintah daerah ditinjau
dari sudut pandang ekonomi, maka pemerintah daerah
dapat dianalogikan sebagai suatu perusahaan milik
yang memberikan beragam jenis layanan layanan atau
bahkan termasuk menyediakan sejumlah barang yang
dapat dikonsumsi oleh penduduk setempat.
Jenis-jenis pajak yang dipungut di daerah sangat
beragam. Pemungutan pajak daerah ini harus
mengindahkan ketentuan bahwa lapangan pajak yang
akan dipungut belum diusahakan oleh tingkatan
pemerintahan yang ada diatasnya. ada perbedaan
lapangan pajak antara daerah propinsi dan daerah
kabupaten/kota. Daerah propinsi memiliki 4 jenis pajak
daerah, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan
di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak atas Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Untuk Daerah Kabupaten/Kota, pajak daerah yang
dipungut berjumlah 7 buah, yaitu Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C, dan Pajak Parkir.
Masing-masing tingkatan daerah memiliki lapangan
retribusi daerah yang berbeda-beda. Lapangan retribusi
daerah propinsi antara lain adalah Retribusi Bahan
Galian golongan C, Uang Leges, Retribusi Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor, dan Retribusi Pemakaian Tanah
Pemerintah Daerah. Sedangkan lapangan retribusi
daerah propinsi I antara lain adalah Uang Leges,
Retribusi Terminal, Retribusi Pasar, Retribusi Reklame,
dan Retribusi Pelelangan Ikan.
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor pada tahun
1993/1994-2000. Untuk menyusun penelitian ini,
penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif,
yaitu berusaha untuk menggambarkan dan menafsirkan
data mengenai pola penerimaan pajak daerah dan
retribusi daerah yang berimplikasi pada kontribusi PAD
dalam APBD pemerintah daerah, khususnya penerimaan
pajak daerah dan retribusi daerah yang diterima oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor sebagai pilihan
studi kasus.
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah mencoba untuk memadukan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber data yang
diperoleh, baik data primer maupun sekunder, yang
relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Ada tiga
macam teknik pengumpulan data yang dipergunakan
dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Studi Lapangan
Penulis berusaha untuk melakukan penelitian
lapangan guna mengumpulkan data-data mengenai
perolehan PAD, Realisasi APBD, serta juga
wawancara terhadap beberapa informan terkait
dalam permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini. Teknik wawancara yang
dipergunakan adalah wawancara mendalam dan
tidak berstruktur. Hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh data yang lebih lengkap sekaligus
menyerap sebanyak mungkin informasi yang
terkait. Walapun wawancara dilakukan secara tidak
berstruktur, penulis tetap memiliki aturan dan
sistematika wawancara. Keterangan yang diberikan
oleh informan akan dijadikan data dan dicatat
secara garis besar sekaligus dipergunakan sebagai
pedoman selama berlangsungnya wawancara.
2. Studi Pustaka
Dalam melakukan studi pustaka, penulis berusaha
untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas,
komprehensif, mengenai peraturan perundangundangan
dan peraturan pelaksanaannya, serta
referensi-referensi lain yang berkaitan dengan
masalah penelitian yang diangkat dalam penulisan
penelitian ini.
3. Time Series Analysis
Analisis ini pada hakekatnya adalah melihat
pengukuran dari waktu ke waktu tertentu.
Pengukuran dapat dilihat dari berbagai cara dan
yang paling sering adalah dengan cara frekuensi,
persentase, atau dengan cara melihat pusat
52 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003
kecenderungan (central tendency) dari suatu gejala
atau kejadian. Data yang akan dianalisa dalam
metode time series ini adalah data-data mengenai
APBD Kota Bogor, Perolehan PAD Kota Bogor,
Penerimaan sumbangan dan bantuan yang diterima
Kota Bogor dari tingkatan pemerintahan yang ada
diatasnya, serta bagi hasil pajak dan bukan pajak
yang diterima Kota Bogor yang berasal dari
penerimaan pajak, baik pajak pemerintah pusat
(seperti PBB dan BPHTB) maupun pajak daerah
propinsi (Propinsi Jawa Barat) yang dipungut
dalama wilayah yurisdiksi Pemerintah Daerah Kota
Bogor.
3. Analisis dan Interpretasi Data
Seperti halnya pemerintah daerah kota lainnya yang ada
di seluruh Indonesia, Pemerintah Daerah Kota Bogor
juga memberlakukan beragam jenis pajak daerah dan
retribusi daerah. Pemberlakuan jenis-jenis pajak ini
tentunya disesuaikan dengan peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti UU Drt. No.
11/1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UU
Drt No. 12/1957 tentang Peraturan Umum Retribusi
Daerah, UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dan yang terakhir UU No. 34/2000
tentang Perubahan atas Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
UU Drt No. 11/1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah dan UU Drt No. 12/1957 tentang Peraturan
Umum Retribusi Daerah merupakan peraturan
perundang-undangan pertama yang dikeluarkan oleh
Pemerintah dalam mengatur pemungutan pajak daerah
dan retribisi daerah oleh pemerintah daerah, namun
kedua peraturan perundang-undangan ini telah dicabut
pemberlakuannya bersamaan dengan diberlakukannya
UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Dalam UU No. 18/1997 ini, terjadi
penyederhanaan jumlah pajak daerah dan retribusi
daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah, dengan
memberikan limit (pembatasan) jumlah pajak daerah
dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh suatu
pemerintah daerah. Pemerintah Indonesia telah
melakukan streamlining, melakukan penyederhanaan
jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, dalam
rangka melakukan reformasi perpajakan daerah dan
retribusi daerah dengan mengimplementasikan
peraturan tersebut. Sejalan dengan diberikannya
otonomi daerah yang lebih luas kepada daerah,
Pemerintah Indonesia kembali menyempurnakan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemungutan pajak daerah dan retrubusi daerah dengan
memberlakukan UU No. 34/2000 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pada perturan perundang-undangan yang terakhir ini,
pemerintah daerah diberi ruang yang lebih luas, untuk
lebih leluasa dalam menarik pajak daerah dan retribusi
daerah di wilayah yurisdiksinya, dengan mengeluarkan
peraturan-peraturan daerah, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sebagai operasionalisasi dari
peraturan perundang-undangan yang baru ini,
Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan PP No.
65/2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66/2001
tentang Retribusi Daerah. Kedua peraturan pemerintah
ini mengatur secara lebih rinci mengenai mekanisme
dan tatacara yang lebih operasional mengenai penerapan
pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dilakukan
oleh suatu pemerintah daerah, baik pemerintah propinsi
maupun di pemerintah kabupaten/kota.
Jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor mengalami pasang
surut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat tersebut. Sesuai dengan upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi regional, Pemerintah
Daerah Kota Bogor telah memangkas beragam jenis
pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat
memberikan dampak negatif terhadap perekonomian di
daerah. Di samping itu, untuk mempertinggi perolehan
pendapatan daerah, khususnya yang berasal dari
komponen pajak daerah dan retribusi daerah,
Pemerintah Daerah Kota Bogor telah melakukan
perampingan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi
daerah yang dipungutnya dengan menghapus pungutan
yang secara ekonomis memberatkan dan tetap
memberlakukan pungutan yang secara ekonomi dapat
memberikan sumbangan yang signifikan bagi
pendapatan daerah.
Selama kurun waktu tahun anggaran 1993/1994-2000,
Pemda Kota Bogor telah memberlakukan beragam jenis
pajak daerah, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pada setiap awal tahun anggaran, pemerintah daerah
beserta DPRD dalam menyusun anggaran pendapatan
dan belanja daerah menetapkan target masing-masing
komponen penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah.
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi Pemerintah
Daerah Kota Bogor dalam menetapkan target
penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Faktor
yang amat penting dan mempengaruhi Pemerintah
Daerah Kota Bogor dalam menetapkan target
pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah di Kota
Bogor adalah situasi dan kondisi perekonomian dan
politik yang kondusif. Hal ini menjadi penting artinya
karena kedua hal ini dapat dikatakan sebagai dua sisi
mata uang dan dapat menentukan hitam-putihnya
realisasi penerimaan. Kegiatan ekonomi yang melaju
pesat dengan ditopang oleh kestabilan kondisi sosial
politik daerah yang menentukan akan memberikan
peluang bagi daerah untuk mengoptimalkan pencapaian
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003 53
target yang didukung oleh kemampuan dan kesadaran
masyarakat untuk memenuhi kewajibannya dalam
membayar pajak daerah dan retribusi daerah.
Dalam menentukan targetnya ini, Pemerintah Daerah
Kota Bogor menempuh berbagai cara dalam
menetapkan target pendapatan pajak daerah dan
retribusi daerah. Adapun cara-cara tersebut antara lain
adalah:
1. Melihat potensi wajib pajak daerah dan wajib
retribusi daerah yang ada di wilayah Kota Bogor.
2. Pertumbuhan perolehan pajak daerah dan retribusi
daerah dimaksud dari tahun ke tahun.
3. Rata-rata penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah pada periode-periode sebelumnya.
4. Prediksi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi di masa mendatang yang memiliki
dampak langsung terhadap pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah.
Beberapa usaha telah dilakukan Pemerintah Daerah
Kota Bogor untuk mewujudkan target penerimaan pajak
daerah dan retribusi daerah. Secara garis besar usaha ini
ditempuh dengan cara melakukan intensifikasi pungutan
dengan melakukan penjaringan wajib pajak daerah dan
wajib retribusi daerah, melakukan pembinaan kepada
Wajib Pajak/Wajib Retribusi misalnya melakukan
dialog dengan wajib pajak hotel dan restoran dan wajib
pajak hiburan, melakukan dialog interaktif melalui
radio, meningkatan profesionalisme sumber daya
manusia melalui penambahan wawasan/pengetahuan di
bidang PAD, meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
yang memerlukan perijinan pada pelayanan satu atap,
meningkatkan koordinasi antarunit kerja terkait, serta
meningkatkan pengawasan atas pengelolaan PAD
melalui kegiatan uji potensi dan pemeriksaan ke
lapangan yang dilaksakanan oleh para pejabat di
lingkungan Dinas Pendapatan Daerah. Selain itu
Pemerintah Daerah Kota Bogor juga melakukan
ekstensifikasi pungutan, yang meliputi penggalian
sumber PAD yang baru sesuai dengan perundangundangan
yang berlaku sepanjang potensi serta ada juga
layanan yang diberikan pemerintah dan tidak
bertentangan dengan kepentingan masyarakat, mencoba
menggali potensi PAD dari Kebun Raya Bogor melalui
upaya dengan menggunakan tembusan tarif masuk
Kebun Raya, mengusulkan kepada pemerintah pusat
agar penerimaan dari pungutan yang dikelola BPN
selama ini kontribusinya kepada daerah kabupaten/ kota
20% diusulkan menjadi minimal 60% dari potensi,
berupaya untuk melaksanakan pungutan atas
pengelolaan Catatan Sipil yang selama ini masuk
kepada Pemerintah Pusat, maka dengan telah
dilaksanakannya otonomi daerah masuk ke daerah
Kabupaten/Kota, menambah fasilitas cakupan
pelayanan dengan menambah sarana dalam menunjang
kegiatan, misalnya dengan membuat panggung reklame
yang ada di wilayah Kota Bogor dan mengadakan areal
parkir baru.
Secara umum, dalam kurun waktu tahun anggaran
1993/1994--2000, realisasi pajak daerah yang diterima
oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor sangat
memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata realisasi
penerimaan pajak daerah yang diterima yaitu sebesar
101,58% per tahun. Dalam kurun waktu yang sama,
rata-rata pertumbuhan perolehan total pajak daerah yang
diterima juga cukup menyakinkan dengan rata-rata
sebesar 22,89% per tahun.
Namun jika dicermati lebih lanjut, maka persentase
pertumbuhan realisasi pajak daerah yang dikelola oleh
Pemerintah Daerah Kota Bogor terlihat fluktuatif dan
terkadang terlihat semakin menurun. Pada kurun tahun
anggaran 1993/1994--1998/1999, terlihat bahwa
persentase realisasi penerimaan pajak daerah mengalami
penurunan pertumbuhan dari tahun ke tahun bahkan
mencapai minus 3,69% di tahun anggaran 1998/1999.
Pada tahun anggaran selanjutnya mengalami
pertumbuhan cukup drastis, 29,99%, sebelum akhirnya
kembali mengalami penurunan pertumbuhan, yaitu
tumbuh sebesar 3,24% di tahun anggaran 2000.
Fluktuasi pertumbuhan ini sangat terkait erat dengan
peraturan perundang-undangan yang diberlakukan,
mengingat pada periode ini, 1993/1994--2000, berlaku
tiga jenis peraturan perundang-undangan yang mengatur
pajak daerah, yaitu UU Drt. No. 11/1957, UU No.
18/1997. dan UU No. 34/2000, yang secara langsung
mempengaruhi jenis pajak daerah yang dapat ditarik
oleh suatu pemerintah daerah. Selain itu, faktor krisis
ekonomi serta potensi yang fluktuatif juga
menyebabkan hal ini terjadi di Kota Bogor.
Dari beragam jenis pajak daerah yang dipungut, ratarata
realisasi perolehan masing-masing pajak daerah
pada kurun waktu Tahun Anggaran 1993/1994--2000
berkisar antara 81,65--106,75% per tahun dengan ratarata
pertumbuhan antara (15,97)% - 44,03% per tahun.
Angka realisasi pajak tertinggi diperoleh dari realisasi
Pajak Penerangan Jalan Umum (106,75% per tahun) dan
yang terendah diperoleh dari realisasi pajak bangsa
asing (81,65%). Pertumbuhan perolehan pajak terkecil
(-15,97%) dialami oleh pajak penjualan minuman keras
dan tingkat pertumbuhan pajak yang tertinggi dicapai
oleh pajak pajak rumah bola (sebelum dicabut pada
tahun 1998) yaitu sebesar 44,03% per tahun.
Kontribusi terbesar terhadap penerimaan total pajak
daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota
Bogor diberikan oleh pajak hotel dan restoran (39,08%)
dan pajak hiburan (25,38%). Sedangkan kontribusi
terkecil diberikan oleh pajak minuman keras (0,033%)
dan pajak kendaraan tidak bermotor (0,029%).
54 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003
Selain menerapkan beragam jenis pajak daerah,
Pemerintah Daerah Kota Bogor juga menerapkan
beragam jenis pungutan dalam bentuk retribusi daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari data yang diperoleh, rata-rata realisasi
penerimaan Pemerintah Daerah Kota Bogor dari
retribusi daerah dalam kurun waktu tahun anggaran
1993/1994--2000 juga cukup signifikan, dengan ratarata
realisasi 96,73% per tahun. Walaupun rata-rata
realisasi ini masih dibawah realisasi rata-rata
penerimaan dari pajak daerah, namun dilihat dari nilai
perolehannya, perolehan dari hasil pemungutan retribusi
daerah ini cukup besar, dengan rata-rata perolehan
sebesar Rp. 8.691.975.252,94 per tahunnya.
Jika dicermati, maka terlihat bahwa persentase
pertumbuhan realisasi retribusi daerah yang dikelola
oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor terlihat fluktuatif
dan terkadang terlihat semakin menurun. Pada Kurun
tahun Anggaran 1993/1994--2000, terlihat bahwa
persentase realisasi penerimaan retribusi daerah
mengalami penurunan pertumbuhan dari tahun ke tahun
bahkan mencapai minus 35,52% di tahun anggaran
1998/1999. Pada tahun anggaran berikutnya, retribusi
tetap mengalami pertumbuhan negatif, –2,34%, sebelum
akhirnya kembali mengalami pertumbuhan negatif,
–5,19% di tahun anggaran 2000. Fluktuasi pertumbuhan
ini terkait erat dengan peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan, mengingat pada periode ini,
1993/1994--2000, berlaku tiga jenis peraturan
perundang-undangan yang mengatur pajak daerah, yaitu
UU Drt. No. 11/1957, UU No. 18/1997 dan UU No.
34/2000, yang secara langsung mempengaruhi jenis
obyek reribusi yang dapat dipungut retribusinya oleh
daerah. Selain itu, faktor krisis ekonomi serta potensi
obyek retribusi juga menyebabkan hal ini terjadi di Kota
Bogor.
Dari beragam jenis retribusi daerah yang dipungut, ratarata
realisasi perolehan masing-masing retribusi daerah
pada kurun waktu tahun anggaran 1993/1994--2000
berkisar antara 68,05 -- 159,55% per tahun dengan ratarata
pertumbuhan antara 18,36% -- 101,26% per tahun.
Angka realisasi retribusi tertinggi diperoleh dari
realisasi retribusi penerimaan pembongkartan reklame
(159,55% per tahun) dan yang terendah diperoleh dari
realisasi retribusi penomoran bangunan dan rumah
(68,05%). Pertumbuhan perolehan retribusi terkecil
(18,36%) dialami oleh retribusi pemeriksaan
geregistrasi perusahaan dan tingkat pertumbuhan
retribusi yang tertinggi dicapai oleh retribusi penomoran
bangunan dan rumah (sebelum dicabut pada tahun
1998) yaitu sebesar 101,26% per tahun.
Kontribusi terbesar, rata-rata per tahunnya pada periode
tersebut, terhadap penerimaan total retribusi daerah
yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor
diberikan oleh retribusi pasar (20,62%), terminal
(16,69%), dan kebersihan (13,51%). Sedangkan
kontribusi terkecil, rata-rata per tahunnya, izin
penjualan minuman keras (0,005%), retribusi
penomoran bangunan dan rumah (0,023%), dan retribusi
pemeriksaan susu (0,036%).
Dalam proses pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah yang dilakukan oleh aparat dinas pendapatan
daerah Pemerintah daerah Kota Bogor beserta
dinas/lembaga lain yang terkait, tingkat kesadaran
warga masyarakat Kota Bogor untuk membayar Pajak
daerah dan Retribusi daerah memang masih perlu
ditingkatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor telah menempuh beberapa
langkah untuk mengatasinya. Usaha yang dilakukan
Pemerintah daerah Kota Bogor untuk mengatasi
masalah dalam pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah selama ini:
1. Melakukan intensifikasi antara lain data yang sudah
ada dimutakhirkan
2. Frekuensi jam kerja pemungutan ditingkatkan/
ditambah
3. Setiap bulan secara periodik mengadakan evaluasi
permasalahan dan hambatan yang terjadi di
lapangan
4. Mengubah Perda yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi sekarang
5. Meningkatkan kesejahteraan karyawan
Kesemua hal ini ditempuh oleh Pemerintah Daerah Kota
Bogor, dengan harapan perolehan pajak daerah dan
retribusi daerah yang dikelolanya dapat memberikan
sumbangan yang signifikan dalam pembiayaan
daerahnya yang tercermin dalam signifikannya
penerimaan pendapatan asli daerah terhadap total
penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD). Dengan besarnya penerimaaan PAD,
diharapkan Pemerintah Dearah Kota Bogor mampu
menyongsong pelaksanaan otonomi daerah yang lebih
luas di daerah kabupaten dan/atau daerah kota.
Dalam periode tahun anggaran 1993/1994--2000,
perolehan komponen pajak daerah terhadap total
penerimaan pendapatan asli daerah memainkan peranan
yang cukup besar. Dalam kurun waktu tersebut,
kontribusi rata-rata perolehan total komponen pajak per
tahunnya adalah sebesar 27,78% per tahun. Jika dilihat
per tahunnya, maka akan terlihat bahwa pada setiap
tahunnya kontribusi penerimaan pajak daerah setiap
tahunnya terus meningkat. Pada tahun anggaran
1993/1994, pajak daerah memberikan kontribusi sebesar
17,36% dengan atau setara dengan
Rp. 1.926.361.309,00. Pada tahun anggaran 1994/1995,
kontribusi komponen ini mengalami sedikit penurunan,
dan mampu berkontribusi sebesar 17,02%. Walau pada
tahun ini kontribusi mengalami sedikit penurunan,
namun secara kuantitatif, perolehan komponen ini naik
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003 55
menjadi sebesar Rp. 2.759.514.925,00. Di tahun
berikutnya, porsi penerimaan komponen pajak daerah
mengalami kenaikan sehingga dapat memberikan
kontribusi sebesar 19,92% terhadap total penerimaan
PAD atau setara dengan Rp. 3.713922.876,00. Tahun
anggaran 1996/1997, kontribusi penerimaan pajak
daerah terhadap penerimaan PAD mengalami sedikit
penurunan, menjadi sebesar, 19,81%. Namun walau
secara prosentase mengalami penurunan, nilai
kontribusinya tetap meningkat, yaitu sebesar
Rp. 4.996.787.760,00 pada tahun anggaran 1997/1998,
sumbangan penerimaan komponen pajak daerah
kembali mengalami peningkatan menjadi
Rp. 5.926.392.955,00 atau jika dihitung secara
prosentase, maka penerimaan ini mampu memberikan
kontribusi sebesar 22.92%. Tahun anggaran berikutnya
kontribusi ini kembali mengalami peningkatan
prosentase menjadi 29,81% dari total penerimaan PAD,
namun secara nominal penerimaan ini mengalami
penurunan menjadi sebesar Rp. 5.691.478.398,00. pada
dua periode berikutnya, kontribusi menjadi sebesar ratarata
diatas 40%, yaitu 47,28% di tahun anggaran
1999/2000 dan sebesar 48,11% di tahun anggaran 2000.
Pada dua periode penerimaan total komponen pajak
daerah telah menembus angka 7 milliar rupiah, yaitu
sebesar Rp. 7.398.624.631,44 di Tahun Anggaran
1999/2000 dan sebesar Rp. 7.638.148.379,00 di tahun
anggaran 2000.
Jika dirinci per komponen pajak daerah yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor, maka
kontribusi terbesar komponen-komponen pajak daerah
terhadap total penerimaan pendapatan asli daerah
secara rata-rata per tahunnya diberikan secara
berturut-turut oleh pajak hotel dan restoran (11,65%),
pajak penerangan jalan (6,82%) dan pajak hiburan
(6,13%). Sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh
pajak minuman keras (0,006%) pajak kendaraan tidak
bermotor (0,006%) dan pajak anjing (0,05%). Jika
dilihat dari jenis/komponen pajak daerah yang
memberikan sumbangan kontribusi terbesar dan
terkecil, dapat dilihat perolehan pajak daerah yang
dikelola, untuk yang memberikan kontribusi terbesar,
terkait dengan kedudukan Kota Bogor sebagai wilayah
wisata sekaligus sebagai kota jasa serta sebagai wilayah
perkotaan yang semakin berkembang. Sedangkan pajakpajak
yang memberikan sumbangan terkecil, terlihat
merupakan pajak daerah yang dipungut dalam rangka
pengaturan dan bukan ditujukan untuk memperoleh
atau memberikan yang signifikan bagi pendapatan
pemerintah daerah.
Dalam periode tahun anggaran 1993/1994--2000,
perolehan komponen retribusi daerah terhadap total
penerimaan pendapatan asli daerah memainkan peranan
yang sangat besar. Dalam kurun waktu tersebut,
kontribusi rata-rata perolehan total komponen retribusi
per tahunnya adalah sebesar 47,58% per tahun. Jika
dilihat per tahunnya, maka akan terlihat bahwa pada
setiap tahunnya kontribusi penerimaan pajak daerah
setiap tahunnya cenderung fluktuatif. Pada tahun
anggaran 1993/1994, retribusi daerah memberikan
kontribusi sebesar 54,05% dengan atau setara dengan
Rp. 5.998.015.061,91. Pada tahun anggaran 1994/1995,
kontribusi komponen ini mengalami sedikit penurunan,
dan mampu berkontribusi sebesar 46,96%. Walaupun
pada tahun ini kontribusi mengalami sedikit penurunan,
namun secara kuantitatif, perolehan komponen ini naik
menjadi sebesar Rp. 7.611.804.091,77. Di tahun
berikutnya, porsi penerimaan komponen retribusi daerah
mengalami kenaikan sehingga dapat memberikan
kontribusi sebesar 51,74% terhadap total penerimaan
PAD atau setara dengan Rp. 9.647.133.301,80. Tahun
anggaran 1996/1997, kontribusi penerimaan pajak
daerah terhadap penerimaan PAD mengalami sedikit
penurunan, menjadi sebesar 44,72%. Namun walaupun
secara prosentase mengalami penurunan, nilai
kontribusinya tetap meningkat, yaitu sebesar
Rp. 11.276.995.820,79 pada tahun anggaran 1997/1998,
sumbangan penerimaan komponen pajak daerah
kembali mengalami peningkatan menjadi
Rp. 12.190.138.525,79 atau jika dihitung secara
prosentase, maka penerimaan ini mampu memberikan
kontribusi sebesar 47.14%. Tahun anggaran berikutnya
kontribusi ini kembali mengalami penurunan prosentase
menjadi 41,15% dari total penerimaan PAD, dan secara
nominal penerimaan ini mengalami penurunan menjadi
sebesar Rp. 5.691.478.398,00. Pada periode berikutnya,
kontribusi penerimaan retribusi daerah mengalami
peningkatan proporsi menjadi 49,04% atau sebesar
Rp. 7.675.346.443,56. Pada tahun anggaran 2000,
kontribusi penerimaan retribusi kembali mengalami
penurunan kontribusinya terhadap total penerimaan
PAD menjadi sebesar 45,84 % atau sebesar
Rp. 7.276.740.232,37.
Jika dirinci per komponen retribusi daerah yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor, maka
kontribusi terbesar komponen-komponen retribusi
daerah terhadap total penerimaan pendapatan asli daerah
secara rata-rata per tahunnya diberikan secara berturutturut
oleh retribusi pasar (20,62%), retribusi terminal
(16,89%), retribusi kebersihan (13,51%), dan retribusi
IMB (12,027%). Sedangkan kontribusi terkecil
diberikan oleh retribusi izin penjualan minuman keras
(0,005%), retribusi penomoran bangunan dan rumah
(0,023%) dan retribusi izin pengusaha angkutan becak
(0,071%). Dilihat dari jenis retribusi yang memberikan
kontribusi yang signifikan bagi penerimaan PAD Kota
Bogor, jenis-jenis retribusi tersebut memang tipikal
retibusi yang mencirikan pelayanan yang diberikan oleh
suatu pemerintah kota terhadap masyarakatnya. Terlebih
lagi ketiga jenis retribusi ini merupakan jenis retribusi
yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan suatu
56 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003
kota, seperti kaitannya dengan ketersediaan infrastruktur
bagi masyarakat kota, sektor perdagangan industri dan
jasa, serta perhubungan.
4. Kesimpulan
Total kontribusi komponen pajak daerah terhadap
penerimaan APBD dalam kurun waktu tahun anggaran
1993/1994--2000 brkisar antara 7,07% -- 8,79%, dengan
rata-rata kontribusi per tahunnya sebesar 7,81% dengan
pertumbuhan per tahun 22,89%. Kontribusi pajak
terbesar terhadap total penerimaan APBD diberikan
oleh pajak hotel dan restoran serta pajak hiburan. Pajak
hotel dan restoran pada periode ini memberikan ratarata
kontribusi sebesar 3,06% per tahunnya dan tumbuh
rata-rata sebesar 32,64% per tahun. Sedangkan pajak
hiburan, pada kurun waktu yang sama memberikan ratarata
kontribusi sebesar 1,96% per tahun dan tumbuh
rata-rata sebesar 8,58% per tahunnya.
Untuk kontribusi komponen retribusi daerah terhadap
total penerimaan APBD dalam kurun waktu tahun
anggaran 1993/1994--2000 berkisar antara 8,36%--
23,05%, dengan rata-rata kontribusi per tahunnya
sebesar 15,61 % dengan pertumbuhan per tahun 5,08%.
Kontribusi retribusi terbesar terhadap total penerimaan
APBD diberikan oleh retribusi pasar dan retribusi
terminal. Retribusi pasar pada periode ini memberikan
rata-rata kontribusi sebesar 3,25% per tahunnya dan
tumbuh rata-rata sebesar 1,44% per tahun. Sedangkan
retribusi terminal, pada kurun waktu yang sama
memberikan rata-rata kontribusi sebesar 2,93% per
tahun dan tumbuh rata-rata sebesar 5,02% per
tahunnya.
Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa kontribusi
komponen pajak daerah dan retribusi daerah terhadap
penerimaan APBD Pemerintah daerah Kota Bogor
sangat fluktuatif. Hal ini banyak diakibatkan karena
terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan
dalam kurun waktu tahun anggaran 1993/1994--2000,
terakhir dengan diberlakukannya UU No. 34/2000
sebagai revisi dari UU No. 18/1997. Pemberlakuan
undang-undang yang berbeda-beda ini menyebabkan
jenis pajak daerah dan retribusi daerah mengalami
banyak perubahan, antara lain menyebabkan
penghapusan jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan
di saat yang sama juga memberikan peluang
dimungkinkannya ditarik jenis retribusi maupun pajak
daerah yang baru.
Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kiranya
perlu bagi Pemerintah Daerah Bogor untuk
memperhatikan peluang yang ada. Dengan
diberlakukannya Undang-Undang No. 34 Tahun 2000,
pemerintah daerah dapat membuat pajak daerah serta
retribusi baru asalkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta kewenangan
yang dimilikinya. Langkah ini merupakan bentuk
inovasi yang baik di samping tentunya mengintensifkan
pelaksanaan penarikan pajak daerah dan retribusi daerah
yang telah diberlakukan sebelumnya.
Daftar Acuan
Bingham, Richard D., et. al. 1991. Managing Local
Government. London: Sage Publications.
Bird, Richard M. 2000a. Intergovernmental Relations:
Universal Principles, Local Applications. International
Studies Program Working Paper.
Bird, Richard M. 2000b. Subnational revenues: realities
and prospect. Paper yang disampaikan pada
Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial
Management yang diselenggarakan oleh The World
Bank Institute.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli. 1983.
Decentralization and Development: Policy
Implementation in Developing Countries. California,
USA: United Nations Centre for Regional Planning.
Cochrane, Glynn. 1983. Policies For Strengthening
Local Government In Developing Countries. World
Bank Staff Working Paper No. 582. Management and
Developing series No. 9. Washington D.C.: The World
Bank.
Devas, Nick et. al. 1989. (Peny.). Keuangan Pemerintah
Daerah di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Hoesein, Bhenyamin. 1999. “Hubungan
Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan
Pemerintah Daerah”. Makalah dalam seminar dengan
tema “Rerspektif Reformasi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Menuju Kemandirian Daerah” yang
diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 di
Jakarta.
Kaho, Josef Riwu. 1995. Prospek Otonomi Daerah di
Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa
Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Koswara, E. 2001. Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi
dan Kemandirian Rakyat. Jakarta: Yayasan Pariba.
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
No. 9 Tahun 1996 tentang Penetapan Sisa Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bogor Tahun Anggaran 1994/1995
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
No. 7 Tahun 1997 tentang Penetapan Sisa Perhitungan
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 7, NO. 2, DESEMBER 2003 57
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bogor Tahun Anggaran 1995/1996
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
No. 22 Tahun 1998 tentang Penetapan Sisa Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bogor Tahun Anggaran 1996/1997
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
No. 9 Tahun 1999 tentang Sisa Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
1998/1999
Peraturan Daerah Kota Bogor No. 2 Tahun 2000 tentang
Sisa Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 1999/2000
Peraturan Daerah Kota Bogor No. 8 Tahun 2001 tentang
Sisa Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2000
Prantilla, Ed. B. 1988. Financing Local and Regional
Development in Developing Countries: Selected
Country Experience. Nagoya, Japan: United Nations
Centre for Regional Development.
Rondinelli, Dennis A. 1983. “Decentralization in
Developing Countries: A Review of Recent
Experience”. World Bank Working Paper Series No.
581, Management and Development series No. 8.
Washington D.C.: The World Bank.
Shah, Anwar. 1991. “Perspective on The Design of
Intergovernmental Fiscal Relation”. The PRE Working
Paper Series No. 726. 1991. Washington D.C.: The
World Bank. Hlm. 24-26.
Smith, B. C. 1985. Decentralization: The Territorial
Dimension of The State. London: George Allen &
Unwin.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Berita : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatanku - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website | More Trick | IVY Themes
Proudly powered by Blogger